Kamis, 29 April 2010

~ Q Lelah Mencintaimu ~

Tlah Q sbar mnnti mu mncntaiku,
Tapi Kw tak prnh mau
Mengerti ttg hadirku


Q cba sygi bygmu,
tapi semua hanya semu
Yang Q mau hadirmu,
bukan bayangmu

Lelah Q mncntaimu
Tak jua Kw mlhatku,
Menatap perjuangan ku


Sungguh sulit Q phmi
aQ kalah darimu
Letih Q mncntaimu
Diri mu yg hanya semu. . .

~ Kamu ~

Saat kebimbangan datang menghantui Q, kw datang bersma canda riang mu,

Saat ku tersudut, kw datang mmbwa sprcik chy trg utk hti ku,

Saat ku bersedih, kw mnmui ku dan mnwrkn ku sptong kbhgiaan

Saat ku bth t4 utk berbagi, kw brsdia mnampung smw keluh kesah ku

Saat ku bth sosok yg mlndgi ku, kw sllu ada di hari2 ku, ajri dan berikn ku wrna wrni khdpn

tapiii . . . . . .
Saat kw jauh, ku tak bsa brhnti mngis, krna aku tak bisa hdp tnp mu

aku bth kamu...
aku perlu dri mu...
aku rindu hdir mu...
aku kangen suara riang dan cnda mu...
aku ingin kamu di sini
selalu temani aku
selalu ad di smpg ku
selalu mnjga ku
selalu untuk ku

Senin, 05 April 2010

“Rasa Yang Tertinggal”

Putra menatap nisan itu. Begitu diam dan sungguh-sungguh tak bergerak. Tapi, ada sesuatu yang mampu membuat Putra terdiam. Aya. Seorang gadis yang merupakan sahabatnya. Sahabat yang sangat dekat dengannya. Begitu dekat. Sampai kecelakaan itu terjadi. Putra menerawang jauh ke masa lalu.
Ryan berdiri dari tempat duduknya. Melihat Putra yang berdiri disisi lain kuburan Aya. Ryan mendekati Putra lalu menepuk pundak Putra.
“Bro!!” ucapnya mengagetkan Putra.
“yan,”
“ada yang pengen gue omongin sama lo, Tra,” ucapnya berat. Putra menatapnya bingung. “Ini tentang Aya,” ucapnya pelan, seolah menjawab kebingungan Putra.
“Aya?”
Ryan mengangguk. “Ini.” Ryan menyerahkan sesuatu pada Putra.
Putra menerima buku ini dengan bingung. “Buku?? Buku apa ini, Yan?”
“Itu buku harian Aya. Dibuku itu Aya menumpahkan seluruh perasaannya.” Ungkap Ryan. “Bundanya Aya yang ngasih buku itu ke gue… Tapi,,” lalu ia menghela mapas panjang. “Tapi gue rasa buku ini, Aya bermaksud nulis semua perasaannya ke dalam buku ini. Buat lo,”
“Lo tau darimana kalo buku ini buat gue?”
“Gue juga baru tau setelah gue baca buku ini. Terlebih lagi di halaman terakhir buku ini… gue yakin kalo buku ini buat lo. Hanya khusus buat lo,”
‘Halaman terakhir???”
“Iya. Halaman terakhir itu menjelaskan tentang semua persaan Aya. Semuanyaaa… dan sepertinya Aya… “ Rayn tersendat ketika meliha nisan Aya.
“Yan. Maksud lo apaan sih sebenernya??” Tanya Putra.
Ryan menatap Putra, sebentar. Lalu segera berpaling. “Jawabannya pasti lo temuin di diary itu… tolong lo rawat baik-baik ya diary itu..”
“Yan, maksud lo apaan sih? Gue sama sekali nggak negerti,” ucap Putra lagi.
Bukannya menjaab pertanyaan Putra, Ryan malah pergi dari areal pemakaman sambil menekuk wajahnya yang sedih. “Lo baca diary itu, Tra... semua akan lo temuin di buku itu, Tra…” ucapnya sebelum benar-benar pergi dari areal pemakaman. Pergi dari pandangan Putra.
Putra hanya menatap kepergian Ryan dengan tatapan binggung.
“Yaannn,,” panggilnya. “Ada apa ini? Aya??” Putra menatap nisan milik Aya, diary yang sekarang dipegangnya, bergantian. “apa hubungan Aya, diary ini, Ryan juga semua ini??” Putra bingung. Lalu seolah-olah ada yang memaksanya untuk membaca diary itu. “Aya????” ucapnya.

***


1 tahun kemudian …..
Putra membawa handbouqet mawar merah ke pusara Aya. Lalu menaruh buket itu diatas kuburan Aya.
‘Hai, Ya,”ucap Putra. “Gue udah datenng, sesuai dengan keinginan lo.”Putra menatap makan Aya. “Ayaa…..” panggilnya. “maapin gue….” Putra memegang nisan yang dingin itu.
Sepi. Sunyi. Senyap. Tak bergerak. Tak bereaksi.
Putra menatap nanar pada tulisan ditengah nisan itu. AYA LINKA ERSYAD. Ia tersenyum kecil lalu bergumam memanggil nama Aya dalam hati.
“Lo datang sesuai permintaannya kan?” ucap Ryan yang baru saja dating sambil berjalan menuju pusara milik Aya. Lalu duduk di sampingh Putra. Dia juga membawa buket mawar merah seperti yang Putra bawa. Tetapi lebih banya daripada jumlah tangkai yang dibawa Putra.
“Iya. Lo juga kan?” Tanya Putra.
“Iya,” ucap Ryan setelah menaruh buket bunga miliknya disamping buket milik Putra. Lalu segera memejamkan mata. Berdoa untuk Aya, cewek yang sangat dicintainya.
Lalu Putra juga menyusul berdoa untuk cewek yang sangat mencintainya.
Keduanyapun terpaku dalam diam.
Lima menit berlalu, mereka masih terdiam menatap makan Aya. Diam dengan pikiran masing-masing.
Angin bertiup kencang. Seolah menemani mereka yang masih terpaku dalam diam.
Lagi-lagi angin bertiup kencang. Kali ini seolah memaksa mereka untuk segera bangkit dari kesunyian ini. Tetapi tidak bereaksi pada Ryan.
Ryan masih tetap menatap sedih makam Aya. Cewek yang sangat dicintainya. Bahkan dia rela melakukan apapun untuk cewek yang memang sahabtnya sejak kecil. Tetapi, Aya menolak semua perhatian yang Ryan berikan untuknya. Karena Aya pernah bilang pada dirinya, kalau dia menyukai temannya sendiri. Itu Putra. Tapi Aya kurang beruntung. Putra sama sekali tidak perduli tentang dirinya. Tentang Aya yang cinta mati padanya. Waktu itu Putra hanya mengganggap Aya hanya sebatas teman. Hanya teman biasa, bukan sebagai seorang sahabat. Aya sangat sedih dan Ryan selalu memberinya semangat untuk bangkit. Semua itu Ryan lakukan untuk membantu Aya walupun sakit hati, tapi dengan segenap hati, Ryan rela membantu orang yang dicintainya. Walaupun Aya tidak bias membalsa cintanya. Tapi Ryan rela melakukan apapun demi Aya. Bagi Ryan, asal bisa ngelakuin sesuatu untuk Aya, meski cintanya tak terbalas, demi kebahagian Aya apapun akan Ryan lakukan.
Akhirnya perjuangan Ryan tidak sia-sia. Putra sudah menganggap Aya sebagai sahabatnya. Dimana ada Putra, pasti ada Aya. Begitu juga sebaliknya. Ryan memang cemburu, tapi hanya sesaat. Waktu Aya bener-bener down gara-gara Putra yang tiba-tiba saja mengenalkan pacarnya yang sangat cantik padanya. Saat itu, lagi-lagi Ryan ada disamping Aya. Tepat di saat Aya membutuhkan dukungan. Dan sekali lagi, Ryan berhasil mengembalikan semangat Aya. Walaupun selalu saja Aya di buat sakit hati oleh Putra, Ryan selalu ada disisinya.


Ryan tersentak ketika Putra menyenggol lengannya.
“lo ngelamun mulu, yan??” omel putra.
Ryan hanya tersenyum kecil. “Gue mikirin Aya, Tra,’ Putra mengelus misan Aya. “Gue rindu sama dia.”
“maapin gue, yan,” ucap Putra pelan. “Gue sebenernya nggak ada maksud buat lo ama Aya jadi begini,,”
“egk, Tra. Ini bukan karena lo. Tapi ini memang sudah takdir yang mesti kita alami. Kita kan nggak bias mengubah takdir,” jelas Ryan tegas.
“Iya, elo bener, Yan.”
Lagi-lagi angin berhembus kencang.
Putra mengambil sesuatu dari dalam jaketnya. Diary Aya. Putra menatap halaman depannya. Ada foto Aya sedang bersenyum manis. Sama seperti setiap kalli Putra menatap Aya. Aya selalu saja tersenyum seperti itu.
“Gue udah ngerti, yan. Apa yang lo bilang waktu terakhir kita ketemu di sini. 1 tahun yang lalu. Saat lo ngasi buku ini ke gue.” Putra menatap diary yang dipegangnya itu. “Gue udah ngerti semuanya, Yan,”
“Lo udah baca diary itu?” Putra mengangguk. “semuanya?” lagi-lagi Putra mengganguk.
Putra menghela napas panjang. “Lo bener, yan. Persis seperti yang lo bilang ke gue. Tentang halaman terakhir Aya itu. Di halaman terakhir itu bener-bener tulisan Aya tentang seluruh perasaannya. Juga tentang khawatirannya.”
“Iya.”
“Gue juga mikir sama kAyak lo. Gue juga mikir kalo … “ Putra menghela napas panjang.
Ryan menatap Putra.
“Aya tau kalo hari itu dia akan meninggal … “ ucap Ryan pelan.
“dan, karena itu dia sengaja nulis halaman terakhir ini untuk kita,” ucap Putra.
“Orang yang mencintainya …” ucap Ryan.
“dan untuk orang yang dicintainya …” ucap Putra.
Angin lalu kembali berhembus kencang. Keduanya sama-sama terdiam.
Putra menatap buku diary itu. “Ini.” Putra menyerahkan diary itu pada Ryan.
“Ini kan diary Aya?”
Putra mengangguk. “Gue tau kalo lo cinta banget sama Aya. Gue juga tau semua pengorbanan –pengorbanan lo selama ini buat Aya, yan. Dan akhirnya gue putusin kalo ini seharusnya buat lo, yan.”
Ryan menghela napas panjang lalu menerima diary itu. “Makasih, Tra,” Ryan menatap diary milik Aya. “Aya itu beda dari yang lain, Tra.”
“Iya, yan. Gue juga sependapat kAyak lo.”
‘lo beruntung, tra, bias dicintai Aya.”
Putra mnggeleng. “Bukan, yan. Elo yng hebat. Elo rela ngelakuiin apaapuun buat Aya. Walaupun sakit, lo selalu ikhlas ngebantuin Aya.”
“Itu bukan apa-apa, Tra. Asal Aya bahagia, gue rela ngelakuin apapun untuk Aya. Walaupun Aya nggak pernah ngebales persaan gue ke dia…”
Putra mnggeleng lagi. “Lo salah, yan. Sebenernya Aya bukannya nggak suka sama lo,”
‘maksud lo, tra?”
“elo pasti nggak buka halaman-halaman kosong itu satu persatu kan? Kalo lo buka, pasti lo nemuin itu.”
“bener?”
Putra mengangguk.
Putra segera memeriksa halaman-halaman kosong yang tersedia di dalam diary Aya. Satu per satu. Lembar per lembar. Akhirnya Ryan menemukan kertas diary Aya yang terlipat. Dan segera ia membuka lipatan kertas tersebut. Tulisan itu berbunyi :

Ryan, sebenernya gue sAyang bangggett sama elo…

Ryan tersenyum. Itu memang tulisan Aya. Putra tidak berbohong kepadanya.
Putra ikut tersenyum.
‘Lo bener, Tra,,”
‘Gue piker Aya berniat ngasih tau lo, tapi sAyang….. udah terlambat.. Aya keburu pergi,” ungkap Putra. “map ya, Yan. Gara-gara gue….”
“egk, Tra. Ini takdir….”
Angin pun berhembus lagi. Kali ini terasa begitu pelan.
“sekarang gue rela ngelepas Aya, tra,’ ucap Ryan. ‘sekarang gue udah lega.”
Putra menatap Ryan. Cowok itu pernah menangis tersedu –sedu di acara pemakaman Aya, cewek yang sangat dia cintai. ‘Lo yakin, Yan?”
“Iya.” Ryan mengelus nisan Aya. Putra ikut tersenyum lega.
‘sekarang semuanya terjawab. Seluruh perasaan Aya, semua rasa itu tertingal dalam buku diary ini. Dan gue rasa kita memang disuruh mengetahui dengan cara membaca buku diary itu. Benerkan, yan?”
Ryan mengangguk mantap. “Iya.’ Lagi-lagi Ryan mengelus nisan Aya. “Selamt tidur, Aya. Tidur yang nyenyak ya. Semoga diary ini bias ngejawab semua teka-teki perasaan lo,” ucap Ryan.
Putra ikut mengelus nisan Aya. “Dan gue sama Ryan akan lebih sering ngunjungi lo disini seperti yang lo mau, ya…”
‘Selamat tidur, Aya. Gue akan selalu merindukan lo.’
“selamat jalan, Aya. Elo emang sahabat gue yang terbaik yang pernah ada.’
‘maksaih, ya. Lo udah mulis halaman terakhir ini buat gue ama Putra. Sampai gue sama Putra tau tentang semua perasaan lo. Sekarang gue bias lega, yan. Selamat tidur, Ya. Sekarang lo bias pergi dengan tenang. Gue ama Putra akan selalu mengingat lo,” ujar Ryan.
Putra mengangguk pelan.
Angin berhembus lagi. Begitu pelan dan terasa sangat sejuk. Seolah-olah dari atas langit, Aya berterimakasih dan sedang tersenyum gembira melihat orang yang dicintainya dan orang yang mencintainya mau mendatangi tempatnya.